Panggung Sandiwara

April 03, 2017

Ada sebuah istana tak berpenjaga, Aku menyebutnya begitu. Didalamnya terdapat satu ras tapi seakan terdiri dari banyak suku. Memang berkeyakinan yang sama. Kiblatnya pun satu. Herannya, bukan sebuah kombinasi yang saling melengkapi, akan tetapi persaingan sengit akan pendapatnya sendiri-sendiri. Kemudian mengajukan protes bentuk ketidakpedulian yang masing-masing sudah ciptakan. Sehingga menimbulkan kesimpulan ketidakseimbangan antara kasih, solidaritas, ketulusan dan ibadah.



Berikutnya, ada sebuah kebahagiaan yang jelas oleh mata. Spirit hidup dan optimisme, atau mungkin merupakan perwakilan dari bentuk pertahanan diri. Yang jelas tulangnya begitu kokoh, senyumnya tak terkontrol. Dia sedang menegarkan diri atau melarikan diri dari kepedihan.
Pesan baiknya adalah jika sekelupas bahagia mampu mengurangi kesedihan kenapa harus memilih terpuruk menambah duka, menyusahkan bukan?
Lalu, detak langkah kecil dan pelan-pelan menyusuri jalan... Meyakinkan kita tentang kenyataan dan oase kehidupan. Untuk yang tak berpenghasilan cukup, cukupkanlah hatimu, bersyukurlah. Ada ladang ibadah yang besar jika kau mau bersabar, dan asal kau tau Surga peluang lebih mudah bagimu. Untuk yang teranugerah perbendaharaan dunia hingga tumpah-tumpah, cukupkanlah hatimu, bersyukurlah. Ada ladang amal yang luar biasa jika kau bersedia bersadar.
Hampir setiap hari aku menyaksikan kepalsuan para hantu yang berdasi itu misalnya. Adegan pura-pura yang dibungkus kesopansantunan yang luar biasa. Tapi ada juga yang mensucikan hartanya dengan kebaikan keringanan tangannya, semoga itu bukan acting duniawi, syarat kelengkapan sebagai manusia menyelematkan popularitasnya. Setiap hari itu aku melihat diriku benar-benar bukan siapa-siapa dipanggung sandiwara ini. Aku sama halnya Kang Maman yang menuliskan sederetan notulen menyerupai kata bijak disebuah perbincangan yang disaksikan.
Seseorang mulai berbicara sistem padaku. Baginya mungkin sistemnya paling benar. Dengan segala vonis yang ia sampaikan. Dia sampaikan tentang peraturan bekerja, ya, SOP (standar operating system). Dia mengkritisiku tentang kebijakan kecil yang aku perbolehkan dalam basecamp ku sendiri. Aku menerima, bagiku itu tak begitu perlu untuk diperdebatkan. Sekelumit rasa ingin aku mendebatnya tentang peraturan kerja. Tentang yang dibolehkan dan yang dilarang. Lalu, entah siapa yang di skakmat nanti. 
Bicara tentang orang berpangkat, banyak ketemui. Bicara tentang derajat, siapa yang bisa menilai? Dan bicara tentang profesionalisme, sedikitnya saya jumpa, selebihnya saya tak tahu. Sistem plagiatisme yang terjadi, dan jual beli lembar-lembar yang sebagai bukti kecerdasan itu... Sayang sekali. Waktu yang tidak sebentar untuk perbekalan ujian hanya demi sebuah kebanggaan lambang kecerdasan diri, telah sia-sia dikotori dengan kecurangan. Keceran ijazah membanggakan diantara jutaan ijazah kepalsuan.
Jujurlah, tersebab setiap orang akan mengunduh kecurangannya masing-masing.
Impian terbesar bisa hadir kapan saja, atau tidak sama sekali. Kemungkinan setelah mimpi yang sekarang didapati. 
Jika mendapati impian yang berbeda bukan artinya impian itu tidak baik. 
Tapi jika tidak sama sekali? Jika terus bertanya, mimpi itu juga akan sekedar mimpi. Perlakukan apa yang sudah digenggam dengan cinta. Sebab satu-satunya cara untuk bahagia terhadap apa yang diberi adalah mengganti kosokata benci menjadi cinta. Kau tidak bisa memilih untuk TIDAK. Setiap apa yang kita miliki, setiap apa profesi itu, setiap dimana kita berpijak adalah DAKWAH. Seperti kau tidak bisa meminta untuk lahir lewat rahim siapa, dikehidupan yang bagaimana.

You Might Also Like

0 komentar

Subscribe